Entri Populer

Senin, 19 September 2011

PEMBANGUNAN SARANA INFRASTRUKTUR DAERAH BEBAS KORUPSI: REALITAS KESERIUSAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Mirza Adany 18 September 2011 Rawa Sakti

KOPI kembali mengadakan diskusi mingguan, Minggu 18/09 2011 di rawa sakti coffee dengan tema “Pembangunan Sarana Infrastruktur Daerah Bebas Korupsi: Realitas Keseriusan Pembangunan Nasional.” Diskusi tersebut dihadiri oleh Mirza Adany selaku ketua KOPI yang menjadi seleb atau pemateri, Ketua BEM FE Unsyiah Rachmat Anshar, Ketua DPM FE Unsyiah Indra Yadi Putra dan mahasiswa/i Fakultas Ekonomi Unsyiah yang rutin mengikuti diskusi tersebut, juga turut hadir anggota KOKAIN Sdr. Rifqi Febrian dan Amas.
Mirza Adany selaku pemateri yang memaparkan materi dan mengontrol jalannya diskusi tersebut mengawali diskusi dengan pemaparan tentang gambaran dari tema yang diangkat yang kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi tentang kondisi rill yang terjadi di lapangan saat ini.
Pasca tsunami melanda Aceh, banyak terjadi peningkatan pembangunan infrastruktur yang disebabkan oleh banyaknya kucuran dana yang datang dari NGO asing. Bahkan sampai sekarang pun masih banyak pembangunan infrastruktur yang dikerjakan namun ironisnya banyak dari infrastruktur tersebut dikerjakan setengah-setengah ataupun kualitas yang kurang memadai sehingga banyak kita lihat infrastruktur yang cepat rusak seperti jalan raya.
Disamping itu, korupsi yang sudah menjadi watak bangsa kita merupakan penghambat dari pembangunan infrastruktur tersebut sehingga berdampak negatif pada pembangunan nasional. Korupsi yang terjadi pada pengerjaan proyek tersebut menyebabkan kualitas infrastruktur yang kurang dikarenakan para pelaku proyek mencari bahan-bahan yang murah.
Indra Yadi mempertanyakan apakah korupsi yang terjadi dalam suatu proyek itu dikarenakan sistemnya yang kurang tepat sehingga memudahkan dalam melakukan tindak korupsi tersebut atau karena moral hazard dari individu tersebut. Menurut Mirza Adany, hal itu disebabkan oleh kedua faktor tersebut dimana sistem yang dijalankan sekarang mempermudah untuk melakukan tindak korupsi karena sudah menjadi adat atau kebiasaan tanpa perlu dipertanyakan lagi dimana setiap proyek harus ada jatah anggaran sekian persen untuk orang yang memberi proyek tersebut, juga kurangnya moral dari individu tersebut yang menganggap sepele hal tersebut. Namun Indra berpendapat bahwa sistemnya lah yang membuat seseorang itu korupsi karena sesuatu itu dilakukan karena ada kesempatan, jika sistemnya bagus dan tidak memungkinkan seseorang untuk korupsi maka tidak akan terjadi korupsi.
Salah seorang mahasiswa baru fakultas ekonomi yaitu Said yang baru pertama kali mengikuti diskusi mingguan KOPI, menanyakan apa solusi dari keadaan tersebut?. Menurut Rachmat, kalau kita boleh berkiblat ke Cina maka setiap pelaku korupsi itu harus dihukum mati untuk member efek jera terhadap pelaku korupsi sehingga tidak adanya individu-individu yang berani lagi untuk melakukan tindakan korupsi. Namun Rifqi membantah bahwa kebijakan hukum gantung bagi pelaku korupsi sangat sulit untuk dijalankan di Indonesia karena kita negeri demokrasi dimana jika dilakukan hukum gantung maka akan banyak terjadi demonstrasi dengan alasan hak asasi manusia. Cina adalah Negara sosialis dimana setiap kebijakan pemerintah wajib dipatuhi sehingga setiap keputusan pemerintah tidak ada yang berani melawan.
Amas, salah seorang anggota KOKAIN memberi solusi lain dimana setiap proyek pembangunan infrastruktur yang ada harus dilelang ke pihak swasta untuk menciptakan transparansi proyek sehingga meminimalisir terjadinya korupsi. Dedi Iskandar yang turut hadir memberi dukungan atas pendapat Amas dimana proyek yang mau dijalankan harus dilelang dan setiap perusahaan diperbolehkan ikut bagian dengan mempresentasikan perencanaan proyek pembangunan dan item-item dari produk atau alat dan bahan yang diperlukan dalam pelaksanaan proyek juga ikut dilelang. Said memberi opsi lain dimana menurutnya harus ada tim pengawas yang langsung dari pemerintah tanpa sepengetahuan pelaku proyek yang akan mengawasi dan melaporkan setiap proses pelaksanaan proyek kepada pemerintah sehingga jika didapati terjadi penyelewengan maka pemerintah bisa menindaklanjutinya.
Samsul yang ikut andil dalam diskusi tersebut menanggapi hal tersebut dengan mempertanyakan apa yang harus kita lakukan sebagai mahasiswa dan masyarakat untuk menindaklanjuti keadaan tersebut?. Indra menjawab pertanyaan tersebut dengan memberi arahan dari KPK dimana yang pertama yang harus kita lakukan adalah mengenali apa itu korupsi dan yang kedua adalah melaporkan kepada pihak yang berwajib jika terjadi kejanggalan dalam pelaksanaan suatu proyek. Indra menambahkan jika tidak ada tindak lanjut dari pihak yang berwajib maka kita boleh untuk berdemo. Namun saudara Rifqi tidak setuju dengan Demo karena menurutnya itu tidak akan menyelesaikan masalah hanya akan membuat macet jalan dikarenakan orang yang berdemo.

Selasa, 26 April 2011

“Pertumbuhan Ekonomi Aceh 2011″


Salam Sosialis.
Pada hari Sabtu 24 April 2011, pukul 09.00 WIB s/d selesai berlangsung diskusi di sebuah coffee shop di area kampus Fakultas Ekonomi yang diselenggarakan oleh Komunitas Pemikir Ekonomi (KOPI) bekerjasama dengan Komunitas Kaum Intelektual (KOKAIN). Diskusi ini mengangkat tema tentang “Pertumbuhan Ekonomi di Aceh tahun 2011“.
Dalam diskusi ini, kami juga menganalisa hal-hal yang menjadi masalah atas pertumbuhan ekonomi di Aceh. Selaku mahasiswa ekonomi, kami menggunakan beberapa teori dan menyertakan refrensi terkait permasalahan pertumbuhan ekonomi.
Acuan perumusan masalah yang kami bahas adalah mengapa sektor pertanian Aceh yang selama ini unggul menjadi basis sektor perekonomian belum memiliki perubahan positif dalam menunjang masalah ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat Aceh?
Pemerintah Aceh optimis bahwa pertumbuhan ekonomi Aceh tahun 2011 bisa mencapai angka yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Dan diharapkan bisa menembus angka 5,5 hinga 6 persen bisa tercapai. Seperti yang kita sadari, bahwa Aceh merupakan daerah kedua yang miskin namun paling kaya sumber daya alamnya setelah Papua. Namun kemiskinan masih ada dimana-mana, kesejahteraan belum merata, terutama pada masyarakat pedesaan dan pedalaman yang kondisinya kian memburuk jika dibandingkan dengan kondisi global yang kian terus bergulir. Betapa pentingnya peran pemerintah dalam mengambil dan melaksanakan kebijakan daerah Aceh. Selama ini yang kita lihat, pemerintah sangat menggebu-gebu meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi di Aceh namun pada kenyataannya distribusi pendapatan tidak selaras dengan jalannya pertumbuhan ekonomi. Pemerintah sangat mengacu pada sektor pembangunan dan infrastruktur daerah namun tidak memperhatikan kondisi prasarana dan sarana yang dibutuhkan oleh masyarakat miskin umumnya di pedesaan yang dominan dari mereka bekerja di bidang pertanian.
Dari hasil diskusi hangat yang dibawakan oleh moderator Rifky Febrian hari ini, penulis ingin menguraikan beberapa pendapat dari pannelist. Saudara Rachmat Anshar yang merupakan Ketua BEM Fakultas Ekonomi berpendapat bahwa perlu adanya akumulasi kapital berbentuk investasi untuk semua sektor agar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh baik yang bersumber dari “uang plat merah” (pemerintah) maupun dari pihak swasta, karena selama ini akumulasi kapital dianggap belum cukup mampu menggerakkan produktivitas barang & jasa karena antara keperluan terhadap modal masih mengalami ketimpangan dengan tingkat ketersediaan investasi. Jika akumulasi kapital semakin tinggi, mudah-mudahaan pertumbuhan ekonomi semakin mengarah positif. Begitu pula dengan tingkat produktivitas barang dimana akan berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja yang akhirnya terdistribusinya pendapatan yang merata. Sedangkan saudara Amas Augustian menyatakan pendapatnya bahwa jika Aceh mengharapkan adanya investasi yang datangnya dari luar maupun lokal dibutuhkan reformasi birokrasi yang selama ini dinilai kurang efektif dan prosedurnya mempersulit datangnya para investor. Sementara itu salah satu peserta diskusi hari ini yaitu Hamzah sependapat dengan saudara Rachmat Anshar, harusnya Aceh menjadikan pertanian adalah komiditi yang diunggulkan dan ditingkatkan kinerja dan produktifitasnya. Pengesahan APBA yang terlambat dan banyak merugikan kegiatan ekonomi di setiap sektor perlu menjadi persoalan “warning” bagi pemerintah Aceh. Saudara Daudy Sukma selaku salah satu mahasiswa berprestasi di Fakultas Ekonomi juga sependapat bahwa Aceh harus optimis dalam menghadapi segala macam problema ekonomi. Asumsinya yang saya bandingkan adalah Aceh dengan Gorontalo. Dibanding Aceh, Gorontalo jauh lebih maju perekonomiannya padahal sumber daya alam mereka sangat terbatas dan jauh. Meyakini hal tersebut, saudara Mirza Adany selaku penyelenggara KOPI menyatakan bahwa jika pertanian ingin menjadi konsentrasi pemerintah, maka harus juga disediakan infrastruktur demi menunjangnya sektor tersebut seperti pabrik pengolahan, menjadi barang jadi dan  yang akhirnya dipasarkan. Namun saat ini, masih sangat sedikit sarana tersebut. Harusnyapun petani juga memiliki pengetahuan dan informasi mengenai keadaan ekonomi seperti harga, inflasi, faktor-faktor yang meningkatkan keuntungan dan daya jual. Modal untuk itu belum banyak dimiliki para petani di Aceh. Dan saya selaku penulis, juga menyadari bahwa pengalokasian sumber daya alam di Aceh sangat membutuhkan keselarasan dari sumber daya manusia yang setimpal. Selain sektor pertanian, begitu banyak sektor dan subsektor yang berkompetensi dan bisa dijadikan andalan seperti sektor pariwisata yang saat ini jadi pendukung program Visit Aceh 2011 namun realitasnya kondisi pariwisata di Aceh tidak mengalami perkembangan pesat seperti yang diharapkan. Padahal kondisi pariwisata Aceh sangat memungkinkan untuk dijadikan sebagai lahan pekerjaan dan mengatasi ketimpangan pendapatan serta membawa Aceh untuk go public.
Menurut Kepala Biro Ekonomi Setda Aceh, T. Sofyan di Serambi (Jumat 02 Februari lalu) bahwa kondisi keamanan yang sudah baik dan stabil serta perbaikan infrastruktur berkelanjutan merupakan salah satu pendorong perekonomian Aceh untuk tumbuh positif. Di samping itu, hambatan-hambatan investasi yang dinilai menjadi acuan kendala yaitu: kepastian hukum, infrastruktur dan keamanan, saat ini secara berangsung sudah teratasi.
Para pannelist menyadari bahwa masa lalu suram Aceh saat dan pasca konflik sangat menyebabkan memburuknya keadaan perekonomian di Aceh. Pasca perjanjian MOU kurang lebih 6 tahun silam, masyarakat Aceh berangsur-angsur membangun daerah Aceh kembali pulih dan mengejar ketertinggalan daerahnya dengan daerah lain yang sudah lebih maju dan terkoordinir. Saat ini, selain mengharap sektor basis sebaiknya pula mengharapkan bahwa salah satu obat penguat menunjang pertumbuhan Aceh adalah lahirnya kaum-kaum enterpreneur yang membuka sarang kegiatan perekonomian dan juga memberikan sentuhan inovasi dan kreativitas yang dibutuhkan Aceh tanpa meninggalkan nilai-nilai sosial dan budaya yang menjadi salah satu warisan Aceh.
Semenjak diberlakukannya otonomi daerah, Aceh berjuang dan membangun lahirnya reformasi pasca konflik dan apalagi setelah terjadinya tsunami yang menambah daftar pilu keadaan karakteristik sosio-ekonomi masyarakat Aceh yang menyedihkan. Besar harapan kami atas perhatian dan kinerja pemerintah dalam menyediakan pelayanan dan mengatasi permasalahan yang saat ini dialami di Aceh khususnya di bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa menjauhkan Aceh dari keadaan inflasi daerah maupun inflasi pusat, dengan meningkatnya pertumbuhan daerah dan distribusi pendapatan yang merata diharapkan dapat membawa kesejahteraan yang diimpikan masyarakat Aceh selama ini.  Pada kesimpulannya, kami menawarkan solusi bahwa Aceh butuh sistem birokrasi yang lebih terbuka dan tidak memihak kepada kepentingan kaum  menengah ke atas saja. Masyarakat butuh sarana dan fasilitas untuk mendapatkan hak mereka sebagai manusia yang mampu bekerja dan memiliki pendapatan. Program koperasi daerah juga harus lebih ditingkatkan. Dan diharapkan sektor pertanian dapat meningkatkan value added (nilai tambah) pada petani khususnya.
Sementara itu, ramalan ekonomi yang bisa saja terjadi jika pemerintah masih saja bersikukuh hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi tanpa memihak kepada distribusi pendapatan yang merata, maka tingkat kemiskinan bisa saja bertambah dan potret ekonomi Aceh yang selama ini digambarkan dan diprediksikan mampu bertahan bisa saja mengalami penurunan baik di investasi maupun produktifitas kinerja menghasilkan output. Pada kesimpuan, untuk menunjang keberhasilan perekonomian Aceh dibutuhkan peran positif dari pemerintah bekerjasama dengan masyarakat. Mendatangkan investasi dengan mengenalkan berbagai keragaman dan hal spesialis yang dimiliki Aceh untuk dikembangkan tanpa merugikan satu sama lain. Menghadirkan bisnis environment di atmosfer perekonomian Aceh merupakan salah satu tujuan penting dalam mendukung tumbuhnya perekonomian Aceh. Ya, semoga saja dalam waktu dekat harapan kita semua selaku masyarakat Aceh bisa diwujudkan dan diorientasikan untuk kita dan dari kita.
NB : Untuk kritik dan saran serta penambahan pemikiran dapat langsung mengomentari website ini atau mengirimkan pesan di facebook kami “Bem Fekon Unsyiah”.
Cut Tya

Selasa, 15 Maret 2011

PERAN BANK DAERAH DALAM MENGEMBANGKAN UMKM DI ACEH

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unsyiah (BEM FE) periode 2010-2011 dibawah kepemimpinan Rachmat Anshar membuat suatu gebrakan baru dengan melahirkan sebuah Komunitas Pemikir Ekonomi atau disingkat dengan KOPI yang berada dibawah koordinasi Bidang Penelitian Dan Pengembangan, Biro Kajian Ekonomi. KOPI itu sendiri lahir sebagai sebuah wadah tempat diskusi mahasiswa ekonomi unsyiah mengenai berbagai isu-isu perekonomian bangsa terkini yang menjadi layak dan hangat diperbincangkan. Semua mahasiswa fakultas ekonomi unsyiah mempunyai hak untuk bergabung dalam komunitas ini untuk mencurahkan pengetahuannya mengenai masalah perekonomian bangsa saat ini untuk dicari akar permasalahnya dan memberi solusi atas masalah tersebut sesuai dengan kapasitas mahasiswa sebagai penerus bangsa. KOPI yang diketuai oleh Mirzatul Kadri ini telah melakukan diskusi-diskusi rutin setiap dua minggu sekali dengan isu-isu yang berbeda sesuai dengan perkembangan perekonomian daerah atau nasional diantaranya mengenai otonomi khusus, pengelolaan APBA, dan lain-lain. Diskusi tersebut biasanya mengambil tempat di warung kopi di seputaran kota Banda Aceh karena umumnya jika diskusi dilakukan di tempat yang santai akan lebih banyak inspirasi dan solusi yang muncul. Hal itu semua dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yaitu meningkatkan intelektualitas mahasiswa fakultas ekonomi unsyiah dan menjadikan mereka peka terhadap permasalahan perekonomian bangsa saat ini.
Kajian yang dilakukan dua minggu sekali tersebut hanya dihadiri oleh sesama mahasiswa ekonomi, namun untuk kali ini KOPI menyelenggarakannya secara lebih eksklusif dengan membuat suatu acara yang bernama “Canteen Discussion” yang bertempat di kantin fakultas ekonomi unsyiah dengan menghadirkan pemateri-pemateri dari luar yang kompeten dan terlibat dalam isu-isu yang akan didiskusikan. Pada tanggal 10 maret 2011 tersebut, KOPI mengangkat tema “Peran Bank Daerah dalam mengambangkan UMKM di Aceh”. Isu tersebut yang sekarang marak diperbincangkan dimana Bank cenderung menyalurkan kredit terhadap usaha-usaha yang bersifat konsumtif dan menomorduakan usaha-usaha yang bersifat produktif, Sehingga usahawan-usahawan yang membutuhkan kucuran dana, diabaikan dan menjadi sulit untuk berkembang.
Acara Canteen Discussion tersebut bersifat diskusi biasa yang informal dimana dihadiri oleh pemateri dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh, Bapak T. Nurmiadi Boy, ST dan bapak Ir. Yusmaizal selaku ketua komisi B DRPK Banda Aceh, juga hadir dari akademisi yaitu Pembantu Dekan III FE Unsyiah, Bapak H. T. Zulham, SE, MSi. namun pemateri dari unsur Bank Aceh Bapak Busra Abdullah tidak tampak pada acara dikarenakan mendadak harus berangkat ke yogyakarta. Acara tersebut berlangsung selama satu setengah jam dari 11.30-13.00 yang bertempat di kantin FE dibawah pohon-pohon yang rindang dan teduh yang dihadiri oleh lebih kurang seratus peserta.
Pada acara diskusi tersebut, KADIN aceh mengatakan akan mencanangkan satu juta usahawan muda di Aceh tentunya bekerja sama dengan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Aceh. Hal itu kata pak Boy (sapaan akrab pak Nurmiadi) dilatarbelakangi oleh berkembangnya sektor UMKM di Aceh setelah 6 tahun pasca tsunami dan untuk menggalang investor masuk ke Aceh serta untuk menciptakan iklim investasi yang aman dan kondusif di Aceh. Realisasinya di lapangan adalah bahwa KADIN dan Bank Aceh sepakat untuk mengucurkan dana yang besar untuk menunjang sektor UMKM dimana KADIN menyediakan Anggaran 300 Milyar dan Bank Aceh sebesar 900 Milyar. Dana tersebut diperuntukkan bagi para korban tsunami yang mau berwirausaha namun sayangnya, dari total anggaran 900 Milyar dari Bank Aceh yang baru tersalurkan hanya 17 Milyar, ada sekitar 883 Milyar yang masih tersisa yang belum tersalurkan.
KADIN juga menargetkan akan membangun berbagai macam pabrik di Banda Aceh dimana sumber daya yang ada di seluruh aceh akan dikumpulkan dan diolah di pabrik tersebut dan kembali disalurkan hasilnya ke seluruh aceh. Hal itu untuk menunjang sektor industri dimana sebenarnya Aceh bisa memproduksi berbagai macam barang namun dikarenakan tidak adanya industri pengolahan seperti pabrik maka nilai tambah dari barang tersebut menjadi kecil. Hal tersebut juga memudahkan petani-petani dimana hasil panen mereka bisa ditampung di pabrik tersebut dan diolah menjadi berbagai macam menu makanan sehingga bisa didistribusikan ke seluruh Aceh bahkan diekspor ke luar Aceh.
Dari pihak Kota Banda Aceh, Bapak Yusmaizal mengatakan bahwa dalam hal pengembangan UMKM, Kota banda aceh menganut konsep Gramin Bank dan memberi pembinaan kepada para pengusaha agar usaha yang dijalankannya berkembang dan mampu menjadi usaha yang besar. Namun kendalanya di lapangan adalah tidak adanya sinergisitas antar lembaga-lembaga yang terkait dengan sektor UMKM tersebut seperti Dinas tertentu tidak melaporkan hasil perkembangan yang sebenarnya terjadi di lapangan sehingga pihak legistatif sulit untuk membuat aturan dan menilai perkembangan UMKM tersebut. Maka yang paling penting itu adalah eksekutornya atau pihak eksekutifnya yang harus benar-benar berusaha untuk mengembangkan sektor UMKM.
Sedangkan menurut akademisi Bapak T. Zulham, untuk mengembangkan sektor UMKM harus dilakukan dalam 3 cara yaitu yang pertama harus ada sinergisitas antar lembaga terkait yang sama-sama bekerja sama membantu sektor UMKM, yang kedua buat suatu usaha dalam bentuk kelompok karena bekerja dalam kelompok bisa cepat berkembang dan pun jika ada pengambilan kredit maka akan mudah dilunasi. Dan yang terakhir harus adanya kontrol suku bunga ataupun suku bunganya direndahkan agar para pengusaha mau mengambil kredit dan cepat terlunasi. Begitu juga usaha yang sudah berjalan tersebut jika ingin cepat maju maka harus ada standar register kesehatannya agar konsumen percaya bahwa barang baik untuk kesehatan, dan harus ada standar kadaluarsanya sehingga konsumen bisa melihat batas pemakaian barang tersebut.

Sabtu, 19 Februari 2011

Pengelolaan APBA di Era Damai, Efektifkah?


          “Tidak ada keledai yang jatuh dua kali pada lubang yang sama”, peribahasa tersebut rasanya dapat mewakilkan kinerja para wakil rakyat terkait mengenai etos kerja terutama dalam pembahasan APBA. Tanpa bermaksud untuk mendiskreditkan kemampuan dan dedikasi yang pernah mereka lakukan selama ini, ataupun menganalogikan para wakil-wakil yang kita pilih sebagai seekor keledai. Pernyataan tersebut hanya untuk mendeskripsikan realita yang terjadi saat ini, khususnya tentang pengelolaan APBA, dari tahapan pembahasan sampai daya serap APBA itu sendiri.
Terdapat beberapa permasalahan di dalam pengelolaan APBA, antara lain karena keterlambatan di dalam pengesahan yang mengakibatkan kinerja yang tidak berjalan dengan semestinya, serapan anggaran menjadi kurang efektif & efesien yang disebabkan karena jangka waktu pelaksanaannya yang sangat singkat. Daya serap terhadap anggran tersebut tidak dapat secara maksimal dikarenakan kinerja yang sangat lamban dari tahun ke tahun, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk memaksimalkan kinerja tersebut.
Sebagaimana kita ketahui bahwa arah pembangunan daerah (Aceh) dapat kita lihat di dalam APBA. Namun di dalam pengelolaan APBA masih terdapat pihak-pihak yang bertanggung jawab di dalamnya yang masih saling menyalahkan. Dari permasalahan-permasalahan yang ada dapat dikatakan bahwa sejak tahun periode 2005 perekonomian di Aceh belum menampakkan peningkatan.
Berbicara tentang keterlambatan pengesahan APBA, terdapat banyak hal yang menjadi satu problema dalam penyusunan anggaran dan perlu dipecahkan secara holistik tanpa ada unsur saling menyalahkan, baik dari pihak legislatif maupun eksekutif. Ada beberapa kendala yang terdengar ke publik, contohnya pada tahun 2008. Salah satunya lambatnya pengesahan APBA dikarenakan dengan pembahasan qanun dana migas dan otsus yang harus disetujui terlebih dahulu. Hal yang telah dibahas tersebut terkendala dengan keluarnya peraturan Menkeu tentang proknosa dana migas untuk Aceh tahun 2008.
            Kemudian permasalahan lainnya terkait mengenai kebijakan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, terutama dalam pengalokasian anggaran. Apapun permasalahannya, keterlambatan anggaran seolah-olah sudah menjadi suatu penyakit kronis yang susah untuk disembuhkan. Bahkan seolah-olah keterlambatan anggaran selalu dipelihara ataupun dijaga. Lebih ironisnya lagi dijadikan suatu trend, bahkan muncul sebagai adagium “gak mepet gak keren” (meminjam istilah Izzy Zibras).
            Jika kita kaitkan dengan peribahasa di atas tadi, kita selalu mengulangi kesalahan yang sama yaitu keterlambatan dalam hal pengesahan anggaran.Oleh Karena itu agar ketelambatan anggaran tidak terulang lagi, perlu adanya upaya  bersama dalam hal ketertiban anggaran maka para pihak legislative dan eksekutif beserta para stakeholder harus secara bersama-sama menyelesaikan permasalahan tersebut tanpa saling menyalahkan.
            Selain mengenai keterlambatan pembahasan anggaran, pengalokasian anggaran ataupun pengeluaran pemerintah (Government Expenditure) harus tepat sasaran dan berbasis kinerja dimana harus adanya skala prioritas yang sinergis dengan arah pembangunan Aceh dalam periode tersebut. Dimana terdapat leading sector yang harus mendapat perhatian lebih, terutama dalam pengalokasian anggaran. Misalnya sektor pertanian dan kelautan. Meskipun dalam dua tahun terakhir beberapa hal yang menjadi basic need seperti pendidikan dan kesehatan mulai mendapat perhatian.
          Mudah-mudahan kedepannya lagi apapun yang menjadi kebutuhan yang mendasar bagi rakyat menjadi fokus utama baik pihak Legislatif maupun Eksekutif. Karena jika seandainya ekspektasi di atas dapat terencana dan terlaksana dengan baik, anggaran publik tersebut dapat menjadi lebih efektif dan efisien serta dapat terserap dengan lebih baik lagi.
 (Hasil Diskusi Mingguan Komunitas Pemikir Ekonomi (KOPI) pada tanggal 12 Februari 2011 di Yellow Coffee)

Rabu, 02 Februari 2011

MASYARAKAT ACEH BERHAK PEROLEH DEVIDEN GARUDA

29 Januari 2011
MASYARAKAT ACEH BERHAK PEROLEH DEVIDEN GARUDA
By: Komunitas Pemikir Ekonomi

Wakil gubernur Aceh, Muhammd Nazar menyatakan masyarakat daerahnya berhak memperoleh deviden penjualan saham perdana (IPO) PT Garuda Indonesia. Rencana pemerintah pusat melalui kementrian BUMN untuk menjual saham PT Garuda Indonesia kepada publik itu sah-sah saja. Tapi perlu diingat bahwa perusahaan penerbangan itu lahir dari Aceh untuk perjuangan kemerdekaan RI. Katanya di Banda Aceh, minggu.
Hal itu disampaikan menanggapi penjualan saham perdana PT Garuda Indonesia kepada publik dengan penawaran berkisar dari Rp 750 hingga Rp1.100/lembar. Muhammad Nazar mengharapkan PT Garuda Indonesia tidak melupakan sejarah lahirnya sehingga perusahaan penerbangan tersebut kini telah menjadi “rakasa” di nusantara ini.
Dijual atau tidaknya sahan itu kepada publik, namun masyarakat Aceh harus dihargai dengan memberikan deviden atau bagi hasil. Soal mekanisme dari itu biasa dilakukan dengan berbagai cara, katanya. Artinya, kata dia, ­­­tanpa harus menempatkan saham di PT Garuda, masyarakat Aceh sudah tercatat sebagai pemegang saham pertama secra nyata di perusahaan penerbangan tersbut.
“Deviden PT Garuda Indonesia kepada masyarakat Aceh itu bisa saja dalam bentuk diskon harga tiket ataupun dana untuk pembangunan sosial secara permanen dan berkelanjutan,” ujar Muhammad Nazar. Untuk itu, Wagub menyatakan dirinya bersama-sama tokoh masyarakat Aceh serta anggota DPR daerah tersebut akan terus memperjuangkan agar Garuda bisa memberikan deviden itu. Saya akan terus mendorong agar keuntungan  PT Garuda Indonesia bisa disisihkan untuk masyarakat Aceh, katanya.
Menteri BUMN Mustafa Abubakar, mengharapkan saham penawaran perdana (IPO) PT Garuda Indonesia berada dikisaran Rp1.000/lembar. Namun, ia menyadari kisaran harga tersebut harus dipelajari lebih mendalam dulu oleh financial advisor  dari IPO Garuda Indonesia. “saya berharap harga saham IPO Garuda Indonesia dikisaran Rp1.000. Mudah-mudahan mendapat dukungan dari penasehat keuangan,” kata Mustafa, dikantor BUMN, Jakarta, selasa. Menurut Mustafa, proses penetapan harga (bookbuilding) IPO Garuda sedang berlangsung,  yang didasarkan pada minat investor dari hasil ”roadshow” (mihibah bisnis) ke luar negeri dan investor lokal.
Menurut rencana, IPO Garuda dujadwalkan pada 11 februari 2011, melepaskan kepemilikan saham 30 persen, dengan dana yang akan diperoleh diperkirakan mencapai 400  juta dolar AS. Dengan funda mental perseroan yang bagus, maka saya berharap harga perdana yang bagus pula, ujarnya. Selain harga yang bagus saat penawaran perdana,  juga akan menarik pada pasar skunder. Ia menambahkan, pelepasan saham perusahaan penerbangan “plat merah” ini, akan dilepas termaasuk kepemilikan 10 persen saham PT Bank Mandiri. 
Sementara itu, direktur utama PT Garuda Emirsyah satar menuturkan, pihaknya pada 13-15 januari 2011 akan melakukan “roadshow” ke sejumlah Negara. Pekan ini kami kami akan roadshow ke Singapura, Hongkong, Amerika serikat (Boston, New York), dan London katanya. Menurutnya, roadshow tersebut untuk menjaring minat investor terutama di pusat saham-saham dunia, terhadap saham garuda. (bem.fe)

PENGELOLAAN DANA OTSUS ACEH, STERILKAH?

01 Januari 2011
PENGELOLAAN DANA OTSUS ACEH, STERILKAH?
By: Komunitas Pemikir Ekonomi (KOPI)

Pengelolaan dana otsus oleh Pemerintah Aceh saat ini masih menyisakan berbagai “PR”  bagi Pemerintah Aceh itu sendiri.  Berdasarkan dari regulasi yang mengatur hal tersebut, dana otsus dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Pogram tersebut sudah berjalan sejak digulirkan oleh Pemerintah Repulik Indonesia pada tahun 2008 lalu. Pogram ini akan terus berjalan hingga 20 tahun mendatang yaitu 2028. Selain Aceh, dua provinsi lain yang mendapat  “kado pembangunan” tersebut adalah Papua dan Papua Barat.
Beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan dana Otonomi Khusus (Otsus) yang diterima Provinsi Aceh pada  tahun 2011 berjumlah Rp 4,4 triliun. Naik Rp 600 miliar dibanding penerimaan pada tahun lalu yang hanya sebesar Rp 3,8 triliun. Besaran dana Otsus Aceh itu disampaikan Presiden SBY dalam Pidato Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2011 Beserta Nota Keuangannya pada Rapat Paripurna DPR RI. Meningkatnya alokasi dana Otsus ini, kata Presiden, merupakan komitmen dan tekad Pemerintah RI pada upaya percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di Aceh pasca konflik dan tsunami.
Alokasi dana otsus terus meningkat dari tahun ke tahun, akan tetapi belum dapat menunjukkan perubahan yang signifikan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Hingga saat ini, masih banyak infrastruktur yang masih belum memadai seperti jembatan, jalan, pelayanan kesehatan maupun pendidikan.Bahkan di pantai barat selatan, masyarakat masih menggunakan rakit untuk menyeberangi kenderaan di salah satu titik jalan negara Banda Aceh- Meulaboh. Hal ini sangat ironis dengan jumlah alokasi dana ke Aceh. Sehingga kita patut mempertanyakan, “apakah pengelolaan dana otsus sudah steril”?. Saat ini dana otsus belum dinikmati oleh rakyat kecil. Akan tetapi dana tersebut sebagian besar dinaikmat oleh para kaum berdasi. 
Kita berharap dengan jumlah dana otsus yang berjumlah 4,4 triliun di tahun 2011 ini, Pemerintah Aceh dapat merealisaikan semua dana sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pemerintah Pusat yaitu untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Sehingga rakyat Aceh benar benar dapat menikmat  “kado pembangunan” tersebut. Dengan demikian rakyat Aceh dapat dapat mengejar ketinggalan pasca konflik  dan bencana tsunami.(bem.fe)

Kamis, 27 Januari 2011

PENGANGGURAN PROBLEMA EKONOMI TERBESAR INDONESIA

15 Januari 2011
Pengangguran Problema Ekonomi Terbesar Indonesia
By: Komunitas Pemikir Ekonomi
Fase krisis ekonomi global memang sudah terlewati, demikian persepsi secara umum, namun pemerintah memperkirakan perekonomian Indonesia di tahun 2011 masih diliputi oleh ketidakpastian.
     Sama halnya seperti pengangguran, masalah ini akan selalu krusial untuk diselesaikan, karena membengkaknya peminat kerja, sedangkan lapangan kerja itu sendiri kian menyempit. Eksesnya, postur ekonomi Indonesia didominasi 80% oleh sektor informal. Mereka umunya bekerja sebagai pedagang kaki lima, pedagang asongan, usaha kecil menengah, dst. Pemerintah masih perlu menciptakan lapangan kerja lebih banyak dalam menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta dengan meneruskan program-program yang pro rakyat.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pengangguran:
- kurangnya lapangan pekerjaan
- tidak sesuainya skil terhadap profesi tertentu
- sumber daya manusia yang rendah
- tingginya pertumbuhan penduduk, dll.
     Setiap tahun di Indonesia terjadi pengangguran mencapai angka 2 juta orang. Mereka di antaranya adalah lulusan S1 dan S2, sama halnya di pasar tenaga kerja, terjadi pengangguran sebanyak 8,59 juta orang. Maka dari itu perlu adanya perbaikan di bidang pendidikan untuk menciptakan peserta terdidik dari segi finansial.
     Dalam konteks global, Indonesia menjadi negara peringkat tertinggi tingkat penganggurannya dan menjadi ancaman terbesar. Presiden SBY sudah berusaha akan menekan angka kemiskinan sebesar 0,5%, ia pun mencanangkan sistem ekonomi ktreatif untuk mengatasi dua hal tersebut, karena hanya dengan tingkat entrepreneur 2%, Indonesia kemungkinan besar dapat menjadi negara maju.
     Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan, asalkan pemerintah bertindak secara jujur dalam mengambil kebijakan. Pemerintah mengontrol kegiatan masyarakat, masyarakat pun mengawasi kinerja pemerintah, saling menjaga dan,,, stay in control! ^_^

Minggu, 09 Januari 2011

BANK ACEH, “RENTENIR TERHORMAT”

18 Desember 2010
BANK ACEH, “RENTENIR TERHORMAT”
By: Komunitas Pemikir Ekonomi (KOPI)

Bank Aceh, atau yang lebih akrab dikenal dengan nama Bank Pembangunan Daerah (BPD) saat ini tengah menjadi sorotan banyak orang. Pasalnya, belakangan ini dikabarkan ada seorang nasabah yang menyampaikan kekecewaannya. Nasabah tersebut merupakan salah satu Pegawai Negri Sipil (PNS) yang bekerja di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Sebagai bank yang sebagian besar sahamnya adalah milik pemerintah, Bank Aceh saat ini mengeluarkan kebijakan bagi kreditur PNS dengan sistem suku bunga flat ratio. Masalahnya nasabah diharuskan untuk tetap membayar angsuran bunga meskipun kredit telah terbayar lunas. Nasabah menganggap bagaimana bank bisa mengeluarkan aturan tersebut tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu. Aturan ini dianggap merugikan nasabah khususnya masyarakat Aceh. Sementara Bank Aceh ini sendiri merupakan bank milik rakyat Aceh, terlebih jika mengingat sebagian besar saham bank ini merupakan hasil dari penggunaan uang rakyat yang diperoleh dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Pimpinan PT. Bank Aceh, Bapak Busra Abdullah menanggapi masalah ini sebagai suatu prosedur baru perbankan yang berlaku. Menurutnya, selama ini Bank Aceh terus mengalami kerugian sehingga perlu adanya perubahan. Jadi nasabah diwajibkan tetap membayar angsuran bunga hingga jatuh tempo meskipun bank juga menetapkan penurunan suku bunga dari 10 % menjadi 6 hingga 8,5 %. Hal ini dimaksudkan untuk profitabilitas Bank Aceh.
Jika ditilik kembali mengenai perkembangan bank kebanggaan rakyat Aceh ini, Bank Aceh pernah mengalami kejayaan pada masa kepemimpinan sebelumnya beberapa tahun silam. Bank Aceh pernah menjadi bank daerah dengan asset terbesar di Indonesia pada masa itu dan hal ini berbanding terbalik dengan keadaan sekarang dimana Bank Aceh mengalami penurunan peringkat dari keempat menjadi kedelapan dengan total asset 13 triliun lebih, sedangkan posisi pertama diduduki oleh Bank Jabar, menyusul berikutnya Bank Jatim dan Bank Jateng. Lantas dapat disimpulkan kapan sebenarnya Bank Aceh dikatakan mengalami kerugian?.
        Kepemimpinan baru, kebijakan baru. Demikianlah ungkapan dari keadaan yang membelit Bank Aceh saat ini. Perubahan dalam suatu organisasi tidak akan menjadi masalah selama perubahan tersebut mampu memberikan kemaslahatan, namun yang terjadi disini justru sebaliknya. Seharusnya pihak Bank Aceh  mensosialisasikan terlebih dahulu aturan tersebut. Jika memang aturan ini kemudian disetujui bahkan direkomendasikan oleh para nasabah, maka barulah perusahaan dapat mengambil keputusan untuk menjalankan kebijakan tersebut. Hal ini tentu untuk mengantisipasi kemungkinan banyak nasabah yang akan lari ke bank-bank lain. Karena apapun ceritanya, Bank Aceh merupakan investasi rakyat Aceh, jadi sangat tidak etis apabila kemudian Bank Aceh berubah menjadi bank dengan sistem kapitalis dan berorientasi pada keuntungan (profit-oriented) semata.