18 Desember 2010
BANK ACEH, “RENTENIR TERHORMAT”
By: Komunitas Pemikir Ekonomi (KOPI)
Bank Aceh, atau yang lebih akrab dikenal dengan nama Bank Pembangunan Daerah (BPD) saat ini tengah menjadi sorotan banyak orang. Pasalnya, belakangan ini dikabarkan ada seorang nasabah yang menyampaikan kekecewaannya. Nasabah tersebut merupakan salah satu Pegawai Negri Sipil (PNS) yang bekerja di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Sebagai bank yang sebagian besar sahamnya adalah milik pemerintah, Bank Aceh saat ini mengeluarkan kebijakan bagi kreditur PNS dengan sistem suku bunga flat ratio. Masalahnya nasabah diharuskan untuk tetap membayar angsuran bunga meskipun kredit telah terbayar lunas. Nasabah menganggap bagaimana bank bisa mengeluarkan aturan tersebut tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu. Aturan ini dianggap merugikan nasabah khususnya masyarakat Aceh. Sementara Bank Aceh ini sendiri merupakan bank milik rakyat Aceh, terlebih jika mengingat sebagian besar saham bank ini merupakan hasil dari penggunaan uang rakyat yang diperoleh dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Pimpinan PT. Bank Aceh, Bapak Busra Abdullah menanggapi masalah ini sebagai suatu prosedur baru perbankan yang berlaku. Menurutnya, selama ini Bank Aceh terus mengalami kerugian sehingga perlu adanya perubahan. Jadi nasabah diwajibkan tetap membayar angsuran bunga hingga jatuh tempo meskipun bank juga menetapkan penurunan suku bunga dari 10 % menjadi 6 hingga 8,5 %. Hal ini dimaksudkan untuk profitabilitas Bank Aceh.
Jika ditilik kembali mengenai perkembangan bank kebanggaan rakyat Aceh ini, Bank Aceh pernah mengalami kejayaan pada masa kepemimpinan sebelumnya beberapa tahun silam. Bank Aceh pernah menjadi bank daerah dengan asset terbesar di Indonesia pada masa itu dan hal ini berbanding terbalik dengan keadaan sekarang dimana Bank Aceh mengalami penurunan peringkat dari keempat menjadi kedelapan dengan total asset 13 triliun lebih, sedangkan posisi pertama diduduki oleh Bank Jabar, menyusul berikutnya Bank Jatim dan Bank Jateng. Lantas dapat disimpulkan kapan sebenarnya Bank Aceh dikatakan mengalami kerugian?.
Kepemimpinan baru, kebijakan baru. Demikianlah ungkapan dari keadaan yang membelit Bank Aceh saat ini. Perubahan dalam suatu organisasi tidak akan menjadi masalah selama perubahan tersebut mampu memberikan kemaslahatan, namun yang terjadi disini justru sebaliknya. Seharusnya pihak Bank Aceh mensosialisasikan terlebih dahulu aturan tersebut. Jika memang aturan ini kemudian disetujui bahkan direkomendasikan oleh para nasabah, maka barulah perusahaan dapat mengambil keputusan untuk menjalankan kebijakan tersebut. Hal ini tentu untuk mengantisipasi kemungkinan banyak nasabah yang akan lari ke bank-bank lain. Karena apapun ceritanya, Bank Aceh merupakan investasi rakyat Aceh, jadi sangat tidak etis apabila kemudian Bank Aceh berubah menjadi bank dengan sistem kapitalis dan berorientasi pada keuntungan (profit-oriented) semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar